ULAMA DAN SASTRA

 


ULAMA DAN SASTRA

Oleh : Nanda Candra Kirana

 

Sastra Islam (Arabالأدب في الإسلام) menurut Said Hawwa adalah seni atau sastra yang berlandaskan kepada akhlak Islam. Sedangkan menurut Ala al Mozayyen sastra Islam muncul sebagai media dakwah, yang di dalamnya terdapat tujuh karakteristik konsistensi, pesan, universal, tegas dan jelas, sesuai dengan realita, optimis, dan menyempurnakan akhlak manusia.

 

Oleh sastrawan Indonesia, Goenawan Mohammad disebutkan, sastra Islam adalah sastra yang mempromosikan sistem kepercayaan atau ajaran Islam; memuji dan mengangkat tokoh-tokoh Islam; mengkritik realitas yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam; mengkritik pemahaman Islam yang dianggap tidak sesuai dengan semangat asli Islam awal, atau paling tidak, sastra yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam (Goenawan Mohammad: 2010).

 

Sastra merupakan bagian integral dalam Islam. Bidang apapun mereka tekuni, mereka menulis puisi. Ulama apapun dulu ya belajar Sastra. Nyaris tidak ada Ulama yang tidak menulis sastra. Imam Syafi’i adalah ulama Fiqih. Tapi Imam Syafi’i juga menulis syair dan puisi. Puisinya tersebar dan disatukan jadi satu buku 300 halaman. Salah satu syair beliau, “Ilmu itu cahaya Allah dan tidak terpancar oleh orang yang bermaksiat”

 

Orang terpelajar, berpendidikan, pasti menulis sastra.  Disiplin ilmu, bukan dengan esai, tapi beberapa disiplin ilmu ditulis dalam bentuk syair. Melayu Raja Ali Haji menulis syair panjang sekali. Bagaimana orang haid hukumnya fiqh wanita ditulis dalam bahasa Melayu. Kelanjutan ilmu bisa ditulis puisi. Dulu, Aqidatul Awwal (Aqidah Umum) pun berbentuk puisi. Salah satu materinya nama-nama Nabi.

 

Hamka dulu disindir-sindir, “Ulama kok nulis Novel?” Tapi beliau menjawab, nanti juga orang orang akan mengerti.

Saat Ulama menulis, begitu kuatnya modernisme yang memandang bahwa sastra ini bukan pekerjaan agama. Sebenarnya kan, sastra termasuk media dakwah, sarana dakwah. Namun, perspektif modern mendistorsi.

Dakwah lewat sastra yang tidak langsung, tidak mengajari. Dalam karya Buya Hamka pun “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” Makna dari novel itu menjelaskan bahwa orang yang mengikut adat menderita, sedangkan orang yang setia pada Islam (karakter Zainuddin) akan sukses hidupnya.

“Dengan menulis novel, merupakan dakwah dengan cara yang halus. Dengan menulis, dakwah nya tidak terlihat seperti sedang berdakwah. Terlebih orang awam pun bisa ikut membaca juga. Kalau ceramah kan berbeda.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR BAHASA INGGRIS DENGAN MODA DARING LAGI UNTUK KELAS 7 MTsN 1 LANGKAT

DARI PTK KE MEDIA CETAK