TABUR BUNGA DI MAKAM SANG PUJANGGA

 


TABUR BUNGA DI MAKAM SANG PUJANGGA

Nanda Candra Kirana

Hari ini Minggu, 28  Februari 2021, Saya bersama rekan-rekan di komunitas LHI (Langkat Heritage Instritute) melaksanakan ziarah ke makam sastrawan dan pahlawan nasional Tengku Amir Hamzah yang berada di kompleks Mesjid Azizi Tanjung Pura.

Acara ini kami sebut acara tabur bunga. Kegiatan tabur bunga memang umum dilakukan beberapa organisasi kemasyarakatan di aderah Tanjung Pura Kabupaten Langkat Sumatra Utara dalam memperingati hari lahir atau hari wafatnya Tengku Amir Hamzah.

Tujuannya ialah sebagai penghormatan kepada beliau. Banyak kontribusi yang beliau lakukan baik bagi daerah Langkat maupun nasional. Beliau pada masa-masa usaha merebut kemerdakaan ternyata sudah cukup aktif bergabung dengan kaum muda nasionalis. 


Beliau termasuk inisiator sumpah pemuda I 28 Oktober 1928. Beliau meyakini bahwa kemerdekaan tidak akan terwujud tanpa persatuan.

Sebagai seorang keturunan kesultanan Langkat, beliau tumbuh menjadi seorang pemimpin yang cerdas. Setelah Indonesia merdeka, beliaulah orang pertama yang ditunjuk menjadi bupati Kabupaten Langkat.

Kecerdasan beliau tidak hanya terlihat dalam hal organisasi kepemerintahan. Beliau juga sangat piawai dalam menulis puisi. Tak ayal, beliau dikategorikan sebagai bagian dari pujangga baru.

Kepiawaian beliau dalam menggambarkan kondisi batin dalam bentuk rangkaian kata bisa dilihat dalam salah satu puisinya, “Sunyi Itu Duka”.

Sunyi itu Duka

Sunyi itu duka

Sunyi itu kudus

Sunyi itu lupa

Sunyi itu lampus

Melalui puisi tersebut seolah-olah Amir Hamzah hendak mendefinisikan kesunyian, sebagaimana yang ia rasakan. Kesunyian menjadi representasi berbagai peristiwa yang ia rasakan. Dalam puisi tersebut, Amir Hamzah menyebut kesunyian adalah duka. Namun, ia tidak berhenti di situ. Ia melanjutkan pengertian kesunyian dengan pemahaman yang lebih dalam, yaitu kesunyian adalah sesuatu yang kudus. Di sini, Amir Hamzah memasuki nilai-nilai religius dalam kesunyian itu.

Puisi-puisi Amir Hamzah dalam Nyanyi Sunyi menjadi bukti bagaimana seorang penyair “membunyikan” kesunyian. Pergulatan Amir Hamzah dengan kesunyian yang kemudian tertulis dalam puisi-puisinya adalah pergulatan eksistensi manusia dengan berbagai peristiwa dan kondisi.

Nilai-nilai religius juga muncul dalam puisi Amir Hamzah sebagaimana tergambar dalam puisi “Padamu Jua”. Puisi ini mengisahkan kerinduan manusia pada Tuhan. Dalam puisi ini tampak bagaimana Amir Hamzah menggunakan kata-kata yang keras dan lembut sekaligus. Kata-kata keras dalam puisi ini tertulis pada bait kelima: Engkau cemburu / Engkau Ganas / Mangsa aku dalam cakarmu / Bertukar tangkap dengan lepas. Akan tetapi, Amir Hamzah bukan hendak memunculkan kemarahannya dalam puisi itu. Ungkapan itu adalah puncak kerinduan yang sangat, di mana manusia ingin menyatu dengan Tuhannya. Puncak kerinduan yang muncul seolah amarah itu kemudian ia tutup dengan kelembutan di bait terakhir puisinya: Kasihmu sunyi / Menunggu seorang diri / Lalu waktu bukan giliranku / Mati hari – bukan kawanku….

Berbeda dengan Armin Pane dan penyair lain sezaman yang cenderung ke bentuk sonata sebagai alternatif pantun. Amir Hamzah justru bermain-main dan mengeksplorasi pantun sebagai ekspresi personal dalam puisinya. Ia seperti tidak hendak putus dengan tradisi sastra masa lalu. Meskipun menggunakan pantun sebagai basis ekspresi dalam karyanya, puisinya berhasil melampaui tradisi pantun itu sendiri. Dan kebebasannya sebagai seorang penyair membuatnya bebas untuk menggunakan kata-kata kuno yang jarang digunakan.

Proses kepenyairan Amir Hamzah dimulai ketika ia meninggalkan kampung halaman dari tinggal di Jawa pada tahun 1932. Selama tujuh tahun di Jawa ia menghasilkan 50 puisi, 11 puisi terjemahan, 18 prosa lirik, 13 prosa, 1 buah prosa liris terjemahan. Proses penulisan puisi dalam antologi Nyanyi Sunyi lebih belakangan dibanding puisi-puisi dalam Buah Rindu, kumpulan puisi keduanya, meski diterbitkan lebih dulu.

Puisi-puisi dalam Nyanyi Sunyi memperlihatkan atmosfer yang sama sekali berbeda. Puisi-puisi tersebut mewakili krisis kejiwaan yang disebabkan oleh cintanya yang pupus. Krisis kejiwaan tersebut juga mungkin disebabkan oleh kematian ayahnya. Di luar latar belakang proses penulisannya puisi-puisi dalam Nyanyi Sunyi tampak matang, baik dari segi teknis maupun dari segi intelektual.

Hal yang lebih penting dalam Nyanyi Sunyi adalah kebebasan Amir Hamzah dalam menggunakan bahasa. Amir Hamzah mencapai puncak estetis dengan melalui bahasa yang bertentangan dengan gaya Melayu tradisional tanpa meninggalkan sama sekali tradisi Melayu itu sendiri.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR BAHASA INGGRIS DENGAN MODA DARING LAGI UNTUK KELAS 7 MTsN 1 LANGKAT

DARI PTK KE MEDIA CETAK